Tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini, yang diinformasikan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Tradisi sering tidak diketahui kapan dimulai dan siapa pertama kali yang melakukannya. Di Kabupaten Kendal ada banyak tradisi yang masih berlaku di masyarakat sampai saat ini. Beberapa diantaranya adalah tradisi Syawalan, tradisi Besaran, tradisi Nyadran, tradisi sedekah laut, tradisi tedhak siti, tradisi Lampet Dhawuhan dan lain-lain.
Empat belas tahun sudah saya tinggal di wilayah kabupaten Kendal. Dari sekian tradisi yang ada, jarang sekali melihat dari dekat tradisi-tradisi tersebut. Bukannya tidak peduli atau bahkan membenci tradisi, tetapi memang tidak terbiasa dengan keramaian ditengah tradisi. Makna tradisi yang mulai bergeser dari ritual religius menjadi ritual kapitalis, penuh dengan hura-hura, arena belanja sampai hiburan mulai dari bianglala, tong setan sampai pentas musik dangdut. Sebagai contoh kasus tradisi Syawalan di Kaliwungu, sebenarnya inti tradisi ini adalah ziarah kubur ke makam alim ulama serta para pendiri serta bupati Kendal yang di makamkan di makam Jabal desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan. Tetapi saat ini, antara yang berziarah kubur jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang berziarah di tempat-tempat hiburan dan belanja. Bisa jadi karena menyandang titel "guru" itulah yang menjadikan rasa tidak enak ikut larut dalam keramaian, yang sangat mungkin bertemu dengan murid-murid, bekas murid maupun yang bukan murid. Masa guru ikut uyel-uyelan dengan murid ikut syawalan. Kecuali dengan alasan lain seperti mengantar anak, mengunjungi saudara di lokasi tradisi, saya baru menyempatkan diri untuk ikut hanyut larut dalam tradisi yang sudah mulai kehilangan arti.
Begitupula dengan tradisi pesta Besaran di pantai Ngebum desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu, walaupun sudah tahu sejak menginjakkan kaki di Kendal, baru tahun ini saya melihat dari dekat tradisi ini. Inipun karena kebetulan kakak ipar mempunyai istri orang asli warga Ngebum, dengan dalih silaturahmi, sekalian melihat dari dekat tradisi pesta besaran di Ngebum. Jika dilihat dari namanya, tradisi pesta Besaran di pantai Ngebum sebenarnya berkaitan erat dengan pelaksanaan peringatan hari raya Idul Qurban. Dimana Kaitan antara pesta Besaran dengan hari Idul Qurban itu yang sampai sekarang saya juga belum menemukan jawabannya. Yang ditemui pada tradisi ini adalah orang (kebanyakan muda-mudi berpasangan) yang tumplek dan blek di pantai Ngebum, bermain air laut, jalan-jalan di pantai, naik perahu, beli souvenir dan atau makanan, serta tidak lupa melihat musik dangdut dengan penyanyi-penyanyi seksi dan goyang aduhainya. Jika memang tujuannya untuk menikmati keindahan pantai, saya kira bukan saat yang tepat, karena pantai penuh dan sesak dengan manusia. Kalau mau cuci mata melihat manusia yang beraneka warna, nah mungkin ini saatnya.
Lepas dari hal tersebut diatas, tidak ada salahnya tradisi dilestarikan. Setidaknya dapat dilihat dari pemberdayaan ekonomi (walaupun sesaat) masyarakat sekitar. Dengan adanya tradisi pesta besaran di pantai Ngebum, memberikan masukan pendapatan daerah dan masyarakat yang berasal dari karcis tanda masuk, jasa parkir sepeda, penjualan souvenir, makanan minuman, sandang, jasa perahu, jasa penyewaan ban dll. Ekonomi menjadi sedikit bergerak ditengah kelesuan akibat krisis global. Masyarakat menjadi sedikit terhibur ditengah penatnya kesibukan dan rutinitas serta himpitan ekonomi yang belum juga ditemukan jalan menuju keluarnya.
Anda ingin menikmati kemeriahan tradisi pesta besaran di pantai Ngebum, tunggu satu tahun lagi.
Empat belas tahun sudah saya tinggal di wilayah kabupaten Kendal. Dari sekian tradisi yang ada, jarang sekali melihat dari dekat tradisi-tradisi tersebut. Bukannya tidak peduli atau bahkan membenci tradisi, tetapi memang tidak terbiasa dengan keramaian ditengah tradisi. Makna tradisi yang mulai bergeser dari ritual religius menjadi ritual kapitalis, penuh dengan hura-hura, arena belanja sampai hiburan mulai dari bianglala, tong setan sampai pentas musik dangdut. Sebagai contoh kasus tradisi Syawalan di Kaliwungu, sebenarnya inti tradisi ini adalah ziarah kubur ke makam alim ulama serta para pendiri serta bupati Kendal yang di makamkan di makam Jabal desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan. Tetapi saat ini, antara yang berziarah kubur jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang berziarah di tempat-tempat hiburan dan belanja. Bisa jadi karena menyandang titel "guru" itulah yang menjadikan rasa tidak enak ikut larut dalam keramaian, yang sangat mungkin bertemu dengan murid-murid, bekas murid maupun yang bukan murid. Masa guru ikut uyel-uyelan dengan murid ikut syawalan. Kecuali dengan alasan lain seperti mengantar anak, mengunjungi saudara di lokasi tradisi, saya baru menyempatkan diri untuk ikut hanyut larut dalam tradisi yang sudah mulai kehilangan arti.
Begitupula dengan tradisi pesta Besaran di pantai Ngebum desa Wonorejo Kecamatan Kaliwungu, walaupun sudah tahu sejak menginjakkan kaki di Kendal, baru tahun ini saya melihat dari dekat tradisi ini. Inipun karena kebetulan kakak ipar mempunyai istri orang asli warga Ngebum, dengan dalih silaturahmi, sekalian melihat dari dekat tradisi pesta besaran di Ngebum. Jika dilihat dari namanya, tradisi pesta Besaran di pantai Ngebum sebenarnya berkaitan erat dengan pelaksanaan peringatan hari raya Idul Qurban. Dimana Kaitan antara pesta Besaran dengan hari Idul Qurban itu yang sampai sekarang saya juga belum menemukan jawabannya. Yang ditemui pada tradisi ini adalah orang (kebanyakan muda-mudi berpasangan) yang tumplek dan blek di pantai Ngebum, bermain air laut, jalan-jalan di pantai, naik perahu, beli souvenir dan atau makanan, serta tidak lupa melihat musik dangdut dengan penyanyi-penyanyi seksi dan goyang aduhainya. Jika memang tujuannya untuk menikmati keindahan pantai, saya kira bukan saat yang tepat, karena pantai penuh dan sesak dengan manusia. Kalau mau cuci mata melihat manusia yang beraneka warna, nah mungkin ini saatnya.
Lepas dari hal tersebut diatas, tidak ada salahnya tradisi dilestarikan. Setidaknya dapat dilihat dari pemberdayaan ekonomi (walaupun sesaat) masyarakat sekitar. Dengan adanya tradisi pesta besaran di pantai Ngebum, memberikan masukan pendapatan daerah dan masyarakat yang berasal dari karcis tanda masuk, jasa parkir sepeda, penjualan souvenir, makanan minuman, sandang, jasa perahu, jasa penyewaan ban dll. Ekonomi menjadi sedikit bergerak ditengah kelesuan akibat krisis global. Masyarakat menjadi sedikit terhibur ditengah penatnya kesibukan dan rutinitas serta himpitan ekonomi yang belum juga ditemukan jalan menuju keluarnya.
Anda ingin menikmati kemeriahan tradisi pesta besaran di pantai Ngebum, tunggu satu tahun lagi.
Ganti wae nganggo tradisi ngeblog...
BalasHapusTerakhir kali ke Ngebum sudah lebih dari 15 tahun lalu, biasaaa... pacaran, hehehe
BalasHapussaya belum pernah ke ngebum lho pak wah kapan2 mau kesana
BalasHapuswalah, saya juga enggan, pak, uyel2an fi tengah keramaian. enakan ngeblog seperti pak mar, hiks. kecuali kalau pa nganter anak yang kebelet pingin beli mainan.
BalasHapusTidak kepikiran nonton kaya gitu pak. Kebak maksiyat ...
BalasHapusiya pak.. sekarang tradisi banyak yg nggilani... malu-maluin... apalagi dijual buat wisatawan.
BalasHapusaku belum pernah sekalipun ke pantai ngebum...apik ora yo.... pantai di kendal yang pernah dikunjungi: pantai jomblong, pantai pidodo kulon (muara kencan), pantai sendang sekucing.
BalasHapusSama sendang sikucing mana lage????
BalasHapustaunya di pekalongan sech
@pencerah
BalasHapusSebelah timurnya sendang sikucing, timuuurrr sekali, mungkin pantai paling timur di kabupaten kendal.
askum admin...wah pantaiku masuk blog ni (.̮)Ђέε..ђέε..ђέε.=D "̮ Ђέђέђέ "̮ Ђέђέђέ "̮ =D saya asli kelahiran ngebum ni hmpir tiap hari liat laut....
BalasHapusWa'alaikum salam wr. wb. Oh ya, tetangga dong
Hapus